Nama: Harun bin Imran, istrinya bernama Ayariha
Garis Keturunan:
Adam as ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qainan ⇒ Mahlail ⇒ Yarid ⇒ Idris as ⇒ Mutawasylah ⇒ Lamak ⇒ Nuh as ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyadz ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra'u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Azar ⇒ Ibrahim as ⇒ Ishaq as ⇒ Ya'qub as ⇒ Lawi ⇒ Azar ⇒ Qahats ⇒ Imran ⇒ Harun as
Usia: 123 tahun
Periode sejarah: 1531 - 1408 SM
Tempat diutus (lokasi): Sinai di Mesir
Jumlah keturunannya (anak): -
Tempat wafat: Gunung Nebu (Bukit Nabu') di Jordania (sekarang)
Sebutan kaumnya: Bani Israil dan Fir'aun (gelar raja Mesir)
di Al-Quran namanya disebutkan sebanyak 20 kali
Harun bin Imran bin
Qahats bin Azar bin Lawi bin Yaakub bin Ishak bin Ibrahim. Beliau adalah
kakak Nabi Musa, diutus untuk membantu Musa memimpin Bani Israel ke
jalan yang benar.
Firman Allah: "Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebahagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi."
Harun dilahirkan empat tahun
sebelum Musa. Beliau yang fasih berbicara dan mempunyai pendirian tetap
sering mengikuti Musa dalam menyampaikan dakwah kepada Firaun, Hamman
dan Qarun. Nabi Musa sendiri mengakui saudaranya fasih berbicara dan
berdebat, seperti diceritakan al-Quran: "Dan
saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia
bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku,
sesungguhnya aku kawatir mereka akan berdusta."
Nabi Harun hidup selama 123
tahun. Beliau wafat 11 bulan sebelum kematian Musa, yaitu sebelum Bani
Israil memasuki Palestina. Mengenai Bani Israel, mereka sukar dipimpin,
namun dengan kesabaran Musa dan Harun, mereka dapat dipimpin supaya
mengikuti syariat Allah, seperti terkandung dalam Taurat ketika itu.
Selepas Harun dan Musa meninggal
dunia, Bani Israel dipimpin oleh Yusya' bin Nun. Namun, selepas Yusya'
mati, lama-kelamaan mereka meninggalkan syariat yang terkandung dalam
Taurat, sehingga menimbulkan perselisihan dan perbedaan pendapat,
akhirnya menyebabkan perpecahan Bani Israel.
Pengutusan Nabi Harun
Riwayat Nabi Harun tidak
terpisahkan dengan Nabi Musa, dan dakwahnya dilakukan bersama dengan
Musa, karena tugas Nabi Harun untuk membantu Nabi Musa dalam berdakwah.
Pada masa Nabi Yusuf, sekelompok
bani Israil telah menetap di daerah Mesir setelah bermigrasi dari
negeri Kan'an. Mereka adalah pemeluk agama tauhid yang berpegang teguh
pada agama Nabi Ibrahim, berbeda dengan para fir'aun yang menyembah
patung dan berhala. Seiring kemajuan zaman, petumbuhan bani Israil pun
berkembang pesat.
Para fir'aun khawatir jika
mereka mencampuri urusan politik dan agama kehidupan masyarakat Mesir.
Akhirnya, mereka menyiksa bani Israil dengan siksaan yang pedih. Hal ini
terekam dalam firman Allah, "(ingatlah)
ketika Kami selamatkan kamu dari (Firaun) dan pengikut-pengikutnya;
mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya. Mereka
menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu
yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang
besar dari Rabbmu," (QS. Al-Baqarah [2]: 49).
Ditengah kesulitan yang dialami
bani Israil, Allah berkehendak atas kelahiran Musa. Sang ibu pun
menyembunyikan kelahirannya, sebagaimana firman Allah, "Dan
kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu
khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami
akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari
para rasul," (QS. Al-Qashash [28]: 7).
Janji Allah untuk untuk menjaga
bayi ini pun terbukti. Fir'aun memperbolehkan istrinya mencari seorang
ibu yang mau menyusui bayi tersebut. Dia pun menemukan ibu Musa dan
menyuruhnya agar menyusui sang bayi.
Musa dibesarkan di lingkungan
istana Fir'aun, di tangan para dukun dan pemuka-pemuka agama mereka.
Ketika dewasa, Allah memberinya ilmu dan hikmah. Pada suatu hari, ada
orang Mesir yang mengejek dan memaksa seseorang bani Israil melakukan
suatu pekerjaan untuknya. Orang bani Israil itu lantas meminta
pertolongan Nabi Musa. Dia pun menolongnya dan memukul orang Mesir itu,
dan tanpa sengaja orang itu mati.
Pada hari berikutnya, orang bani
Israil kembali berkelahi dengan orang Mesir yang lain. Orang bani
Israil itu lantas meminta pertolongan lagi kepada Nabi Musa. Akan tetapi
Nabi Musa malah membentak dan memarahi orang Israil itu karena
seringnya dia berbuat buruk. Orang Israil itu mengira Musa akan
membunuhnya. Dia pun segera bertanya, "Apakah engkau ingin membunuhku seperti orang Mesir kemarin?"
Mendengar cerita pembunuhan itu,
orang Mesir tersebut segera menemui kaumnya dan menceritakan apa yang
terjadi. Fir'aun pun segera mengirim pasukan mencari Musa untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, salah seorang yang
menyayangi Musa segera memberi tahunya setelah mendengar sesuatu yang
terjadi di istana Fir'aun. Dia menyuruh Musa pergi meninggalkan bahaya
ancaman Fir'aun. Musa pun pergi meninggalkan Mesir menuju Madyan, daerah
di bagian barat laut Jazirah Arab.
Di Madyan, Musa tinggal di rumah
orang tua yang beriman, yaitu Nabi Syuaib. Setelah orang tua itu (Nabi
Syuaib) melihat keluhuran akhlak dan tanggung jawab Musa yang sangat
tinggi, dia lalu menikahkan Musa dengan salah satu putri beliau. Musa
kemudian ingin kembali ke mesir setelah beberapa lama tinggal di Madyan.
Ketika sampai di Bukit Tursina,
Musa tersesat. Tibalah waktu malam saat Allah hendak memberikan tugas
kenabian dan wahyu kepadanya. Pada saat itu, malam terasa dingin dan
Musa melihat cahaya api dari kejauhan. Dia lantas menyuruh keluarganya
agar tidak meninggalkan tempat mereka karena dia ingin pergi mencari
sedikit api untuk penerangan. Tatkala dia sampai ke tempat api tersebut,
Allah berfirman kepadanya, "Sungguh, Aku ini
Allah, tidak ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku," (QS. Thaha [20]: 14).
Hal itu kemudian menjadi tanda
awal kenabian Musa sebagai Kalimullah. Permintaan Musa pun dikabulkan
dan Allah mengutus pula saudaranya, Harun sebagai pendampingnya.
Allah memerintahkan mereka
berdua (Musa dan Harun) agar bertutur lemah lembut saat memperingatkan
Fir'aun. Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk mengatakan kepada
Fir'aun, "Kami adalah utusan Rabb alam
semesta kepadamu. Lepaskanlah bani Israil dan jangan siksa mereka.
Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk."
Pada saat itulah kesombongan menguasai Fir'aun hingga dia berkata kepada Musa, "Bukanlah kami yang mengasuhmu sewaktu kecil?1"
Dia pun menyebutkan berbagai kebaikannya terhadap Musa, bahkan mulai
mengejek dan menuduh Nabi Musa dan Nabi Harun melakukan sihir. Fir'aun
lalu memerintahkan tukang sihirnya untuk menghadapi mereka berdua. Ahli
sihir Fir'aun pun berdatangan dan melemparkan tali-tali mereka dan
menyihirnya menjadi ular untuk menandingi Musa. Nabi Musa lantas
melemparkan tongkatnya yang kemudian berubah menjadi ular dan menelan
ular-ular mereka atas pertolongan Allah.
Melihat mukjizat itu, para ahli
sihir Fir'aun pun mengimani Musa dan syariat Allah yang dia bawa. Mereka
juga tidak memedulikan berbagai ancaman Fir'aun. Mereka semua berkata
seperti yang diabadikan al-Qur'an, "Sesungguhnya
kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni
kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami
melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal
(adzab-Nya)," (QS. Thaha [20]: 73).
Fir'aun lalu berencana membunuh
Musa dan Harun serta semakin keras menyiksa bani Israil. Nabi Musa
memerintahkan mereka untuk menguatkan jiwa dan bersabar. Dia kemudian
berdoa kepada Allah agar menurunkan adzab yang pedih kepada Fir'aun dan
kaumnya. Allah berfirman,"Maka Kami kirimkan
kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah
menjadi darah) sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap
menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. )," (QS.
Al-A'raf [7]: 133).
Ketika Fir'aun dan kaumnya sudah
tidak berdaya dengan adzab dengan adzab yang menimpa mereka, dia pun
meminta kepada Musa agar berdoa kepada Allah untuk menghentikan siksaan
itu. Fir'aun kemudian berjanji tidak akan lagi menyiksa bani Israil.
Nabi Musa lantas memohon kepada Allah agar menghentikan siksaan itu dan
Allah pun mengakhirinya. Namun, Fir'aun ingkar janji, dan dia kembali
menyiksa bani Israil untuk kedua kalinya.
Sementara itu, bani Israil
berkumpul dan meminta kepada Nabi Musa dan Nabi Harun agar dia membawa
mereka keluar dari Mesir. Nabi Musa dan Nabi Harun pun membawa kaumnya
dan berangkat ke arah negeri Kan'an melewati Sinai. Fir'aun beserta bala
tentaranya mengejar mereka. Namun, Nabi Musa dan Nabi Harun beserta
kaumnya dapat menyeberangi laut dengan mukjizat yang telah Allah berikan
kepada Musa. Fir'aun dan pasukannya juga ikut menyeberang laut mengejar
mereka, tetapi Allah menenggelamkan Fir'aun beserta seluruh tentaranya.
Nabi Musa dan Nabi Harun serta
bani Israil tiba di padang pasir negeri Sinai. Setelah melihat banyak
perbedaan antara daerah itu dan negeri sungai Nil yang subur (Mesir),
mereka mengajukan berbagai permintaan kepada Nabi Musa. Nabi Musa telah
menerima Taurat. Di dalamnya terdapat beragam syariat samawiyah. Kaumnya
mulai menyeleweng, terlebih setelah Nabi Musa pergi untuk menerima
lembaran wahyu. As-Samiri telah mempengaruhi bani Israil untuk menyembah
anak sapi sehingga mereka meminta kepada Musa agar dibuatkan patung
untuk disembah.
Nabi Musa lantas marah dan
mengecam permintaan mereka. Dia ingin menjadikan sebuah pusat
pemerintahan untuk kaumnya. Dia kemudian pergi menuju kota Ariha
(Jericho), tetapi kaumnya tidak mau dan berkata seperti termaktub dalam
al-Qur'an, "Mereka berkata, 'wahai
Musa, sampai kapanpun kami tidak akan memasuki, selagi mereka ada di
dalamnya, karena itu, pergilah engkau bersama Rabbmu, dan berperanglah
kalian berdua, biarlah kami tetap (menanti) di sini saja,' " (QS.
Al-Ma'idah [5]: 24).
Di saat mereka menolak untuk
masuk negeri yang disucikan itu, Allah membalasnya dengan adzab. Mereka
pun tersesat di lembah Tih selama 40 tahun. Beberapa tahun setelah itu,
Nabi Harun wafat lalu disusul Nabi Musa. Setelah Nabi Musa wafat, bani
Israil baru merasakan buruk dan bodohnya perbuatan serta tingkah laku
mereka kepada Nabi Musa. Karena itu, mereka mengangkat Yusya' bin Nun
sebagai Raja. Dialah yang kemudian membawa mereka menyeberangi sungai
Jordan (asy-Syari'ah) menuju kota Ariha dan tinggal di sana.