anusia. Di
dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid
kepada manusia, menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan
manusia kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan
dalam kehidupan individual dan sosial manusia, membimbing manusia kepada
agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan kepribadian
manusia, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan insani.
Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[1]
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk
merenungkan perihal dirinya, keajaiban penciptaannya, serta keakuratan
pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya dapat
mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah at-Taariq [86] ayat 5-7.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ . خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ . يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ .
Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari
apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar
dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat
petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang
berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian
manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta
faktor-faktor yang mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian
manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa manusia.[2]
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba
melihat sejauh mana hakikat manusia menurut perspektif Al-Qur’an. Di
awal pembahasan, penulis akan memaparkan secara sekilas definisi manusia
dan asal-usul penciptaannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menambah
inspirasi untuk memantapkan kembali eksistensi kita sebagai manusia.
Definisi Manusia
Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga istilah pokok. Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins, naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.[3]
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[4] Dengan demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan.[5] Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.[6]
Allah swt. berfirman:
َ وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi)
manusia yang berkembang biak. (Q.S. ar-Rum [30]: 20)
Selain itu, kata basyar juga
dikaitkan dengan kedewasaan manusia yang menjadikannya mampu memikul
tanggung jawab. Akibat kemampuan mengemban tanggung jawab inilah, maka
pantas tugas kekhalifahan dibebankan kepada manusia.[7] Hal ini sebagaimana firman Allah berikut ini.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29):
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ
يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ .
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)
Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.[8] Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak.[9] Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang).[10] Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali.[11] Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.[12] Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.[13]
Dua kata ini, yakni basyar dan insaan,
sudah cukup menggambarkan hakikat manusia dalam Al-Qur’an. Dari dua
kata ini, kami menyimpulkan bahwa definisi manusia adalah makhluk Allah
yang paling sempurna, yang diciptakan secara bertahap, yang terdiri atas
dimensi jiwa dan raga, jasmani dan rohani, sehingga memungkinkannya
untuk menjadi wakil Allah di muka bumi (khaliifah Allah fii al-ardl).
Asal-Usul Penciptaan Manusia
Al-Qur’an telah memberikan informasi
kepada kita mengenai proses penciptaan manusia melalui beberapa fase:
dari tanah menjadi lumpur, menjadi tanah liat yang dibentuk, menjadi
tanah kering, kemudian Allah swt. meniupkan ruh kepadanya, lalu
terciptalah Adam a.s.[14] Hal ini diisyaratkan Allah dalam Surah Shaad [38] ayat 71-72.
إِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.
Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud
kepadanya.” (Q.S. Shaad [38]: 71-72.)
Perhatikan juga firman Allah dalam Surah al-H{ijr [15] ayat 28-29.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا
لَهُ سَاجِدِينَ .
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29)
Dalam Al-Qur’an, kata ruh (ar-ruh)
mempunyai beberapa arti. Pengertian ruh yang disebutkan dalam ayat-ayat
yang menjelaskan penciptaan Adam a.s. adalah ruh dari Allah swt. yang
menjadikan manusia memiliki kecenderungan pada sifat-sifat luhur dan
mengikuti kebenaran. Hal ini yang kemudian menjadikan manusia lebih
unggul dibanding seluruh makhluk yang lain. Karakteristik ruh yang
berasal dari Allah ini menjadikan manusia cenderung untuk mengenal Allah
swt. dan beribadah kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan dan
menggunakannya untuk kemakmuran bumi, serta berpegang pada nilai-nilai
luhur dalam perilakunya, baik secara individual maupun sosial, yang
dapat mengangkat derajatnya ke taraf kesempurnaan insaniah yang tinggi.
Oleh sebab itu, manusia layak menjadi khalifah Allah swt.[15]
Ruh dan materi yang terdapat pada manusia
itu tercipta dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis.
Dari perpaduan keduanya ini terbentuklah diri manusia dan
kepribadiannya. Dengan memperhatikan esensi manusia dengan sempurna dari
perpaduan dua unsur tersebut, ruh dan materi, kita akan dapat memahami
kepribadian manusia secara akurat.
Kemudian, dalam ayat lain juga disebutkan mengenai permulaan penciptaan manusia yang berasal dari tanah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ
ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ
وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا
نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ
لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ
يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ
شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا
الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ .
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan
kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang
sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di
antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan, kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah. (Q.S. al-Hajj [22]: 5)
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي
قَرَارٍ مَكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا
الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا
الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ .
Kemudian kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani
itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang,
lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasuci-lah Allah,
Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mu’minuun [23]: 13-14)
Itulah di antara sekian banyak ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang asal-usul penciptaan manusia.
Penciptaan manusia yang bermula dari tanah ini tidak berarti bahwa
manusia dicetak dengan memakai bahan tanah seperti orang membuat patung
dari tanah. Akan tetapi, penciptaan manusia dari tanah tersebut bermakna
simbolik, yaitu saripati yang merupakan faktor utama dalam pembentukan
jasad manusia. Penegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia
diciptakan dari tanah ini merujuk pada pengertian jasadnya. Oleh karena
itu, Al-Qur’an menyatakan bahwa kelak ketika ajal kematian manusia telah
sampai, maka jasad itu akan kembali pula ke asalnya, yaitu tanah.[16]
Secara komprehensif, Umar Shihab
memaparkan bahwa proses penciptaan manusia terbagi ke dalam beberapa
fase kehidupan sebagai berikut.[17] Pertama,
fase awal kehidupan manusia yang berupa tanah. Manusia berasal dari
tanah disebabkan oleh dua hal: (1) manusia adalah keturunan Nabi Adam
a.s. yang diciptakan dari tanah; (2) sperma atau ovum yang menjadi cikal
bakal manusia bersumber dari saripati makanan yang berasal dari tanah. Kedua, saripati makanan yang berasal dari tanah tersebut menjadi sperma atau ovum, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah nutfah. Ketiga, kemudian sperma dan ovum tersebut menyatu dan menetap di rahim sehingga berubah menjadi embrio (‘alaqah). Keempat, proses selanjutnya, embrio tersebut berubah menjadi segumpal daging (mudlghah). Kelima, proses ini merupakan kelanjutan dari mudlghah. Dalam hal ini, bentuk embrio sudah mengeras dan menguat sampai berubah menjadi tulang belulang (‘idzaam). Keenam, proses penciptaan manusia selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah). Ketujuh, proses peniupan ruh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai bergerak. Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah bayi tersebut ke atas dunia.
[1]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, terj. M. Zaka al-Farisi (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 11.
[2]Ibid., hlm. 19.
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 367.
[4]Cek dalam Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 153-154.
[5]Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hlm. 7.
[6]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 368.
[7]Ibid., hlm. 368-369.
[8]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 369.
[9]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 19.
[10]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 369.
[11]Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hlm. 119-120.
[12]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 369.
[13]Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia, hlm. 14.
[14] Ibid., hlm. 362.
[15]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 364.
[16]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan, hlm. 63-65.
[17]Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm. 105-106.
Penjelasan mengenai fase kehidupan manusia ini didasarkan pada Q.S. al-Mu’minun [23]: 13-14. Lihat Umar Shihab,
Ditulis dalam Studi Al-Qur'an | Tag: Asal-usul manusia, Hakikat manusia, Manusia dalam Al-Qur'an